TOKYO, Apr 16 (News On Japan) - Harga beras di Jepang melonjak drastis, dengan kantong 5 kilogram kini umumnya dijual pada kisaran 3.000 hingga 4.000 yen, dan dalam beberapa kasus melebihi 6.000 yen termasuk pajak. Kenaikan harga ini mengejutkan konsumen, dan supermarket mengalami harga tinggi sekaligus kelangkaan pasokan.
Menanggapi situasi ini, beberapa pengecer menerapkan pembatasan pembelian karena pasokan yang terbatas. Meskipun pemerintah telah campur tangan dengan melepaskan cadangan beras nasional, situasi belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Pemerintah telah melepaskan 210.000 ton beras bulan lalu dan berencana melepas tambahan 100.000 ton setiap bulan hingga Juli, namun upaya ini hanya berdampak kecil terhadap harga ritel yang terus meningkat.
Salah satu alasan mengapa harga beras terus naik adalah karena beras cadangan pemerintah hanya sedikit tersedia di toko ritel. Meskipun beberapa supermarket diperkirakan akan menerima pengiriman dalam jumlah kecil pada akhir April, jumlahnya sangat terbatas dan tidak merata. Perwakilan toko menyatakan keprihatinannya, menyebut bahwa efek dari tindakan pemerintah hampir tidak terasa dan masa depan masih tidak pasti.
Kenaikan harga beras yang tajam juga memicu meningkatnya penipuan yang menargetkan konsumen yang khawatir. Seorang wanita di Osaka mentransfer 11.000 yen untuk 20 kilogram beras yang diiklankan di media sosial dengan harga sangat murah, namun tidak pernah menerima kirimannya. Ia merasa kecewa dan menyesal telah tertipu, percaya bahwa ia seharusnya bisa membeli beras secara normal meskipun dengan harga lebih tinggi.
Kazuhito Yamashita, seorang peneliti di Canon Institute for Global Studies, menjelaskan bahwa meskipun pemerintah telah melepas cadangan beras, harga tetap tinggi karena dua masalah struktural utama. Pertama, pemerintah menetapkan "syarat pembelian kembali" untuk beras yang dilepas, yang mengharuskan pembeli mengembalikan jumlah yang sama dalam waktu satu tahun. Ini mencegah pasar dibanjiri beras dan secara efektif menjaga pasokan tetap ketat. Kedua, lebih dari 90% beras yang dilepas dibeli oleh JA (Japan Agricultural Cooperatives), yang secara historis menentang pelepasan cadangan karena khawatir harga akan turun. Alih-alih mendistribusikan beras secara luas ke grosir atau pengecer, JA mungkin membatasi pasokan untuk menjaga harga tetap tinggi.
Yamashita berpendapat bahwa jika niat pemerintah sebenarnya adalah menurunkan harga beras, maka cadangan seharusnya dijual langsung ke supermarket atau grosir yang lebih dekat dengan konsumen. Namun, struktur rantai pasokan saat ini membatasi efektivitas pelepasan cadangan. Pemerintah telah mengumumkan akan terus melepas cadangan beras setiap bulan hingga Juli, dengan total 610.000 ton, namun Yamashita meragukan hal ini akan benar-benar menurunkan harga secara signifikan.
Bahkan jika cadangan beras dijual dengan harga diskon—21.000 yen per 60 kilogram dibanding harga pasar 26.000 yen—harga ritel diperkirakan tetap sekitar 3.400 yen untuk 5 kilogram. Ini masih jauh di atas harga 2.000 hingga 2.500 yen yang terlihat tahun lalu. Karena grosir membeli dengan harga tinggi, mereka kecil kemungkinan menjual dengan kerugian, dan bahkan tekanan pemerintah untuk menurunkan harga hanya akan berdampak kecil. Struktur harga saat ini memastikan beras tetap mahal bagi konsumen.
Situasi ini disebabkan oleh kebijakan lama Jepang yang mengendalikan produksi untuk mendukung harga beras dengan membatasi pasokan. Yamashita menyebut kebijakan ini cacat secara fundamental, membandingkannya dengan sistem kesehatan di mana pemerintah menanggung sebagian biaya agar layanan tetap terjangkau. Sebaliknya, kebijakan pertanian justru membuat beras mahal dengan mengurangi ketersediaan. Ia menyarankan agar Jepang mengadopsi model seperti di AS dan Eropa, di mana petani menerima subsidi langsung sementara pasar tetap penuh dan harga konsumen rendah. Jika Jepang mempertahankan tingkat produksi yang lebih tinggi, kekurangan saat ini bisa diatasi tanpa lonjakan harga ekstrem.
Yamashita menyimpulkan bahwa sistem penetapan harga dan produksi beras di Jepang berada pada titik kritis. Kombinasi dari syarat pelepasan cadangan, kendali oleh JA, dan pembatasan produksi jangka panjang telah menciptakan sistem di mana konsumen menanggung beban harga tinggi, sementara mekanisme penstabil gagal memberikan hasil yang berarti. Tanpa reformasi struktural, penurunan harga yang signifikan tampaknya tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Source: ABCTVnews